Perkembangan teknologi digital telah menjadi salah satu kekuatan transformatif paling besar dalam dunia modern, termasuk di sektor ekonomi kreatif. Bagi wilayah seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), yang secara geografis terdiri dari pulau-pulau dan desa-desa terpencil, kehadiran internet sebenarnya adalah sebuah peluang luar biasa. Namun, peluang ini hanya bisa terwujud jika akses digital tidak berhenti pada ketersediaan sinyal, melainkan benar-benar menjadi jembatan menuju kesejahteraan masyarakat.
Di sinilah pentingnya mendorong internet yang positif dan pemanfaatan konten yang produktif untuk mendukung lahirnya ekosistem ekonomi kreatif yang inklusif dan berdaya saing. Internet positif bukan sekadar menghindari konten negatif seperti hoaks, pornografi, atau ujaran kebencian, melainkan bagaimana memanfaatkan jaringan digital secara sehat, bijak, dan kreatif. Di banyak desa di NTT, kekayaan lokal seperti tenun ikat, musik tradisional, anyaman bambu, hingga makanan khas NTT yang masih tersembunyi karena keterbatasan akses promosi. Padahal, semua potensi ini bisa menjadi kekuatan ekonomi besar jika didorong melalui internet. Konten produktif seperti vlog edukatif, katalog digital UMKM, dokumentasi budaya visual, hingga narasi wisata lokal bisa menjangkau pasar nasional bahkan global, sekaligus menciptakan lapangan kerja baru bagi anak-anak muda di sana.
Sayangnya, realitas digital di lapangan belum sepenuhnya berpihak. Dalam sebuah unggahan viral dari TikTok Metro TV, ditampilkan bagaimana sekelompok pelajar di NTT harus mendaki bukit tinggi hanya untuk mendapatkan sinyal agar bisa mengikuti pelatihan ujian UNBK. Mereka terpaksa melakukan ini karena di desa mereka belum tersedia jaringan internet yang stabil. Pemandangan ini sangat kontras dengan kehidupan digital di kota-kota besar, dan menjadi pengingat bahwa pemerataan akses internet masih menjadi tantangan serius. Ketimpangan ini tidak hanya menyulitkan proses belajar, tapi juga memutus peluang untuk tumbuh dalam dunia ekonomi digital yang terus bergerak cepat.
Kabar baiknya, seperti yang diberitakan dalam siaran pers resmi Kementerian Komunikasi dan Digital bertajuk “Lebih dari Sekadar Sinyal: Kemkomdigi Bangun Masa Depan Digital NTT” (19 Maret 2025), Menanggapi hal tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika Digital, Meutya Hafid, menegaskan bahwa konektivitas digital di NTT bukan hanya soal memperluas jaringan, tetapi juga memastikan masyarakat mampu memanfaatkannya untuk meningkatkan kualitas hidup. “Kita ingin internet di NTT bukan hanya sekadar sinyal yang tersedia, tetapi benar-benar menjadi jembatan bagi masyarakat untuk mengakses layanan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi digital,” ujarnya dalam kunjungan kerja ke wilayah timur.
Hingga awal 2025, cakupan layanan 4G di permukiman NTT telah mencapai 98,59% sebuah pencapaian besar, namun masih terdapat sekitar 1.051 km² wilayah yang belum terjangkau jaringan stabil. Untuk menanggapi kesenjangan ini, pemerintah mempercepat pembangunan infrastruktur jaringan fiber optik yang diharapkan bisa menghadirkan koneksi internet yang lebih cepat dan andal, terutama untuk masyarakat di daerah terpencil. “Sebanyak 208 kecamatan di NTT masih belum terhubung dengan fiber optik. Ini bukan hanya soal infrastruktur, tetapi bagaimana kita memastikan setiap orang di NTT memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang di era digital,” tambah Meutya Hafid. Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena, menegaskan bahwa digitalisasi dapat membawa perubahan nyata bagi masyarakat NTT. “Kami ingin memastikan bahwa masyarakat NTT tidak tertinggal dalam era digital ini. Dengan internet yang lebih merata, anak-anak bisa belajar lebih baik, UMKM bisa memperluas pasar, dan layanan kesehatan bisa menjangkau lebih banyak orang,” ungkapnya.
Salah satu program yang akan segera diterapkan adalah telemedicine, yang memungkinkan masyarakat mendapatkan layanan kesehatan secara digital tanpa harus menempuh perjalanan jauh. “BPJS Kesehatan siap menjadikan NTT sebagai proyek percontohan telemedicine, karena di beberapa daerah, akses ke fasilitas kesehatan masih menjadi tantangan besar,” jelas Gubernur Emanuel. Lebih lanjut, Menteri Meutya Hafid menekankan pentingnya literasi digital agar masyarakat dapat menggunakan internet secara produktif. Dan “Digitalisasi tidak hanya soal membangun jaringan, tetapi juga tentang membangun pemahaman. Kita harus memastikan masyarakat bisa memanfaatkan internet untuk hal-hal positif, seperti pendidikan, bisnis, dan layanan kesehatan, bukan hanya untuk hiburan,” katanya.
Tentu saja, membangun ekonomi kreatif berbasis digital tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Peran generasi muda sangat dibutuhkan sebagai motor penggerak konten produktif. Banyak anak muda NTT yang mulai aktif di media sosial, tetapi belum semuanya menyadari bahwa karya mereka bisa menjadi sumber penghasilan dan perubahan sosial. Edukasi tentang desain, pemasaran digital, manajemen UMKM, dan monetisasi platform kreatif menjadi kebutuhan mendesak. Komunitas, kampus, dan relawan digital perlu turun tangan memberikan pelatihan yang relevan, kontekstual, dan berkelanjutan.
Saya pribadi pun punya mimpi untuk suatu saat bisa mengunjungi langsung daerah daerah di NTT, bermain dan belajar bersama anak-anak di sana, bertukar cerita, dan berbagi sedikit ilmu yang saya peroleh selama kuliah, khususnya di bidang desain, ekonomi, sosial, dan literasi digital. Saya percaya bahwa berbagi ilmu, sekecil apapun bentuknya, bisa menyalakan api semangat dalam diri seseorang untuk melihat potensi yang ia miliki. Mungkin saya tidak bisa mengubah banyak hal, tapi saya ingin menjadi bagian dari perjalanan mereka memahami bahwa masa depan digital bisa diraih tanpa harus meninggalkan akar budaya mereka.
Harapan saya, semakin banyak anak muda Indonesia yang menyadari bahwa pembangunan tidak melulu harus datang dari pusat. Daerah seperti NTT punya potensi luar biasa yang hanya butuh dukungan, akses, dan pendampingan. Ekonomi kreatif berbasis internet bukan hanya tentang cuan atau viral, tapi soal keadilan akses, kebanggaan budaya, dan masa depan yang lebih setara. Dengan koneksi yang stabil, literasi digital yang merata, dan semangat berkarya yang tumbuh dari dalam, saya yakin NTT bisa menjadi contoh nyata bagaimana teknologi bisa menjadi alat pemberdayaan — bukan hanya hiburan.
Penulis: Thirozatul Khoiriyah
Apakah konten ini membantu keperluan Anda?
Berikan rating untuk konten ini
Rating yang Anda berikan: